Minggu, 19 April 2009

Atasi Hama Belalang secara Organik


Beberapa waktu lalu (Maret hingga awal April) hama belalang menyerang lahan pertanian di Kecamatan Kupang barat, Kabupaten Kupang. Sekitar 177 hektar padi gogo dan tanaman lainnya yang tersebar di Desa Tesabela, Sumlili dan Oematnunu, dilaporkan telah terserang dan kemungkinan besar mengalami gagal panen. Seperti dilaporkan sebuah media nasional, meluasnya penyebaran hama belalang diperkirakan akan mengurangi hasil produksi padi sampai 70 persen dan bisa berdampak buruk pada ketahanan pangan. Dari tiga desa yang terserang, Desa Tesabela mengalami kerugian terbesar, 30-40 hektar lahan dalam kondisi kritis. Serangan hama belalang tersebut telah menambah penderitaan masyarakat NTT. Sedikitnya, 15 kabupaten mengalami krisis pangan karena gagal panen akibat kekeringan berkepanjangan sehingga masyarakat terpaksa mengkonsumsi makanan non beras seperti putak, biji asam, kacang hutan, jagung, dan ubi-ubian.

Meski jenis makanan ini sudah menjadi makanan alternatif, tetapi ada kekhawatiran dari para ahli gizi bahwa anak-anak dan balita akan mengalami kurang gizi, pertumbuhan tidak normal terserang penyakit busung lapar, gangguan saluran pencernaan dan penyakit lainnya. Dalam upaya yang bersifat sementara, pemerintah melakukan pemberantasan belalang menggunakan insektisida. Sedangkan warga secara tradisional melakukan penangkapan untuk mengurangi populasi hama. Namun, disamping insektisida kimia dapat membantu manusia dalam mengatasi gangguan hama, ternyata aplikasinya dapat menimbulkan dampak negatif, seperti resistensi, resurgensi, residu, ledakan hama sekunder, matinya musuh alami dan pencemaran lingkungan.

Insektisida Alami
Insektisida nabati tentunya dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian serangga. Bahan alami itu memenuhi beberapa kriteria yang diinginkan, yaitu aman, murah, mudah diterapkan petani dan efektif membunuh hama serta memiliki keuntungan mudah dibuat. Bahan dari nabati ini juga mudah terurai (biodegradable) sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak karena residunya mudah hilang.

Salah satu tanaman yang memiliki senyawa yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati yaitu daun sirsak. Bagian dari tanaman sirsak yang digunakan adalah daun dan biji. Daun sirsak mengandung senyawa acetogenin, antara lain asimisin, bulatacin dan squamosin. Pada konsentrasi tinggi, senyawa acetogenin memiliki keistimewaan sebagai anti-feedent. Dalam hal ini, hama serangga tidak lagi bergairah untuk melahap bagian tanaman yang disukainya. Sedangkan pada konsentrasi rendah, bersifat racun perut yang bisa mengakibatkan hama serangga menemui ajalnya. Ekstrak daun sirsak dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi hama belalang dan hama-hama lainnya.

Dalam makalah berjudul Controlling Locusts with Plant Chemicals disebutkan bahwa seperti spesies serangga lain, belalang mengalami proses evolusi bersama tanaman selama lebih dari 350 juta tahun. Serangga phytophagous telah mempelajari bagaimana menghindari racun tanaman dan tanaman pun selalu membangun strategi pertahanan dengan produk kimia alaminya. Beberapa sifat botani tersebut merupakan alternatif sebagai insektisida. Seperti Meliaceae tropis, Azadirachta indica (mimba) dan Melia volkensii yang tersebar di Afrika Timur, bermanfaat sebagai sumber penghambat perkembangan serangga (termasuk belalang). Kandungan bioaktif yang ditemukan di dalamnya adalah grup azadirachtins, yang bercampur dengan neuroendocrine hormon, untuk mengontrol pertumbuhan tubuhnya, metamorfosis dan reproduksi.

Produk tanaman yang dianalisa bercampur di antara metabolisme dan proses yang melawan belalang tanpa menggunakan tekanan yang membahayakan manusia dan binatang lain. Ekstrak buah mentah M. volkensii selalu berhasil dalam mengontrol pergerakan dan mengusir belalang (Locusta migratoria). Ultra-Low Volume (ULV) memformulasikan 1000 ppm ekstrak etanol buah M. volkensi. Dengan menggunakan perbandingan 10 liter per hektar hasilnya mampu menghamat dan menghilangkan perkembangan belalang. Hasil menarik lainnya adalah keikutsertaan ekstrak dalam fase formasi, yaitu mengusir belalang, menahan fase soliter dan menghambat pergerakan dalam fase berkelompok. Yang terpenting juga, insektisida alami ini tidak meracuni mamalia ataupun burung.

Kamis, 16 April 2009

Serangan Hama Wereng Batang Coklat (WBC) di Jawa Tengah


Sejak April 2005 yang lalu Wereng Batang Coklat (WBC) telah menyerang propinsi Jawa Tengah. Berdasar hasil pengamatan, WBC telah merusak areal persawahan kurang dari 100 hektar.
Pada Juli 2005 serangan meningkat menjadi 39.649 hektar, bahkan terdapat persawahan yang mengalami puso seluas 3.030 hektar. Daerah-daerah tersebut antara lain kabupaten Pati, Demak, Kudus, Jepara, Sragen, Klaten, Grobogan, Batang, Pemalang dan Tegal. Serangan juga terjadi di kabupaten Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat.
Kepala Badan Litbang Pertanian, Dr. Achmad Suryana, melaporkan kepada Menteri Pertanian bahwa peningkatan serangan WBC pada MK 2005 ini dipicu oleh beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain (a) pola dan waktu tanam yang kurang teratur dan serempak dalam satu hamparan, (b) penanaman varietas tidak tahan (varietas lokal dan ketan) serta varietas yang tahan WBC biotipe 1 dan 2 tetapi peka terhadap WBC biotipe 3, (3) penggunaan pestisida yang kurang tepat dan menyebabkan resurgen (mendorong peningkatan populasi WBC), dan (d) anomali iklim yang menyebabkan tingginya curah hujan dan kelembaban pada MK 2005.
Kasus serangan WBC di Cirebon dipicu salah satunya oleh penanaman beberapa galur harapan Badan Litbang pertanian (Balitpa) yang diperoleh petani dari Uji Multi Lokasi (UML). Varietas tersebut antara lain GH17, GH41, GH99 dan lain-lain. Ternyata galur-galur tersebut memang tidak lulus skrining uji ketahanan terhadap WBC oleh Badan Litbang Pertanian. Varietas ini tidak pernah dilepas menjadi varietas. Galur-galur tersebut umumnya merupakan sister line dari beberapa varietas populer saat ini seperti Ciliwung, Citarum, Memberamo, dan Ciapus. Petani memperoleh galur tersebut secara tidak resmi, kemungkinan mengambilnya di lapangan pada saat dilakukan uji multilokasi di lahan-lahan petani.
Belum ada indikasi pergeseran biotipe WBC dari biotipe3 yang selama ini berkembang, tetapi terjadi pematahan kethanan beberapa varietas yang tahan dan agak tahan menjadi agak tahan dan peka, seperti IR42, IR64, Tukad Petanu, Ciherang, dan lain-lain.
Beberapa langkah anjuran penanggulangan serangan WBC antara lain (a) mengaplikasikan pestisida dengan bahan aktif Bupropezen pada pertanaman dengan populasi WBC rendah, (b) aplikasi pestisida yang masih efektif dan membunuh cepat antara lain yang mengandung Imidacloprid, Thiametoxan, dan Fipronyl.
Pada pertanaman MH 2005/2006 dianjurkan menanam vaietas yang mempunyai gen ketahanan berbeda dengan IR64 dan IR42, antara lain Memberamo, Ciherang, IR72 dan IR74 (pera) dan peningkatan intensitas dan efektivitas pengamatan populasi WBC di lapang.
Untuk jangka menengah (1-3 tahun) Badan Litbang Pertanian melakukan percepatan pengujian berbagai galur Balitpa dan IRRI. Untuk jangka panjang (4-6 tahun) akan dilakukan (a) perakitan varietas yang memiliki ketahanan vertikal (vertical resistence) menggunakan gen tahan Bph-3, (b) perakitan verietas dengan teknik Pyramiding the major genes yang mengkombinasikan 2 gen major atau lebih seperti Bph1l dan bph2 lingkage atau gen Bph3 dan Bph4 yang bersegregasi bebas, dan (c) pembentukan varietas Horizontal Resistence dengan mengkombinasikan gen major dan gen minor yang umumnya bersifat lestari (durable resistance)